Sabtu, 11 Maret 2017

Mengatasi Miskonsepsi


Individu hanya dapat memahami suatu konsep dengan benar jika konsep yang mendasari sebelumnya telah dikuasai dengan benar pula. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh para ahli pendidikan dari berbagai aliran bahwa hal terpenting yang dibawa ke ruang kelas oleh setiap siswa sebelum memulai pelajaran adalah konsep-konsep yang telah mereka miliki dan kuasai sebelumnya.
Ilmu kimia mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi berkaitan dengan konsep-konsep dalam kimia bersifat abstrak, merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya, dan sifatnya berurutan. Kesulitan dalam memahami konsep-konsep dalam materi kimia dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pemahaman. Pemahaman salah yang terjadi secara konsisten disebut dengan kesalahan konsep (misconseption). Upaya untuk memperbaiki kesalahan konsep dapat dilakukan melalui beberapa tahap berikut yaitu upaya menganalisis dan mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik, kemudian ditindaklanjuti dengan pembelajaran menggunakan pendekatan konflik kognitif dan atau pendekatan mikroskopis.
Beberapa masalah pendidikan dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, misalnya kurikulum, lembaga penyelenggara pendidikannya atau sekolah, guru, proses pembelajaran, sumber belajar, serta peserta didik itu sendiri. Keenam subyek atau sistem dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan kimia perlu diperhatikan melalui penelitian, pembentukan dan penetapan kebijakan dalam pendidikan di Indonesia.
A.    Tinjauan Masalah Pendidikan yang Menyebabkan Miskonsepsi dalam Pembelajaran Kimia
Keenam masalah pendidikan kimia yang dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, adalah:
1.      Kurikulum
Kerangka dasar dan struktur kurikulum serta kurikulum tingkat satuan pendidikan baik hirarki materi pelajaran maupun tatanan materi antar mata pelajaran harus terus mengalami evaluasi dan perubahan untuk menghindari miskonsepsi yang berasal dari kurikulum, dengan kata lain kurikulum harus dinamis karena kurikulum yang statis tidak mampu menata hirarki pendidikan kimia di SMP maupun di SMA dan tidak memperhatikan ketimpangan materi antar mata pelajaran.
2.      Lembaga Penyelenggara Pendidikan Formal
Pada saat ini, lembaga penyelenggara pendidikan atau sekolah memiliki otonomi atas faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan bahkan sampai pada tingkat kebijakan, maka sekolah seharusnya memaksimalkan pemberdayaan faktor-faktor tersebut, misalnya team teaching dibentuk untuk pembelajaran IPA Terpadu atau pembelajaran tematik, sehingga peserta didik dapat mempelajari secara utuh pada bidang studi kimia, fisika, dan biologi dalam pembelajaran IPA Terpadu tersebut.
3.      Tenaga Pendidik
Guru berperanan lebih sebagai konselor, fasilitator, kolaborator, dan pelatih strategi belajar bagi siswa. Peranan guru agar tidak terjadi miskonsepsi sangat besar, yaitu mulai dari memahami siswa hingga evaluasi pembelajaran dapat membantu peserta didik agar tidak mengalami miskonsepsi, dan yang terutama guru menguasai materi kimia sehingga gurunya sendiri tidak mengalami miskonsepsi dan dapat membimbing peserta didik mencapai kompetensi yang ditetapkan.
4.      Proses Pendidikan/Pembelajaran
Proses pendidikan yang mengutamakan pengembangan potensi peserta didik seoptimal mungkin harus menerapkan empat pilar belajar yang diajukan oleh komisi internasional UNESCO yaitu (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to live together; dan (4) learning to be. Penerapan keempat pilar tersebut dalam proses pembelajaran kimia dapat berarti sehingga tidak terjadi miskonsepsi karena peserta didik dapat mempelajari konsep kimia secara utuh sehingga tidak terjadi miskonsepsi.
5.      Sumber Belajar
Pendidik berperan lebih sebagai perancang, pengelola, fasilitator, tutor, dan mentor. Peranan buku teks pelajaran sebagai salah satu sumber belajar berkaitan dengan usaha memberikan kecakapan belajar agar mampu belajar sepanjang hayat, maka diangap perlu menyusun buku teks pelajaran yang baik.
Pada saat ini, isi dalam buku teks pelajaran kimia masih sering ditemukan kesalahan konsep sehingga jika peserta didik belajar tanpa bimbingan dapat mengalami kesalahan konsep. Dengan demikian, dalam pembelajaran kimia sebaiknya menggunakan lebih dari satu sumber belajar atau misalnya menggunakan buku teks berbasis aneka sumber.
6.      Peserta Didik
Penyebab lain terjadinya miskonsepsi dapat juga dari pengetahuan kimia terdahulu peserta didik belum matang yang merupakan dasar pembelajaran kimia yang dilaksanakan, atau kesalahan peserta didik menginterpretasikan pelajaran kimia dari sumber-sumber belajar yang dipelajarinya.
B.     Kemampuan/Keefektivan Instrumen untuk Analisis Miskonsepsi pada Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Kimia
Beberapa instrumen untuk mendeteksi dan menganalisis miskonsepsi kimia sudah diciptakan untuk setiap SK dan KD pelajaran kimia, baik yang berupa perangkat wawancara, tes soal dan beberapa di antaranya sudah merupakan produk penelitian yang dapat digunakan pembelajaran kimia atau penelitian pembelajaran kimia yang lain.
Setiap penelitian tentang analisis miskonsepsi menggunakan instrumen soal tes dengan jumlah soal yang banyak sehingga mungkin cukup banyak menggunakan waktu pembelajaran di kelas. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan karena jika pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang menggunakan waktu yang banyak, maka proses pembelajaran tersebut tidak dapat dilaksanakan sampai tuntas.
C.    Kemampuan/Keefektivan Pendekatan Konflik Kognitif untuk Memperbaiki Miskonsepsi pada Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran Kimia
Konflik kognitif merupakan salah satu metode pembelajaran Konsep penggunaan metode ini yaitu orang atau siswa akan dibenturkan/dikondisikan dalam konflik dua atau lebih pilihan/kondisi yang menuntut untuk diketahui, yaitu melalui discovery event (peristiwa/benda anomali).
Penelitian dan atau pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif harus melalui 4 langkah kegiatan, yaitu: (1) pre tes dilanjutkan dengan wawancara, (2) pembelajaran strategi konflik kognitif, (3) pos tes dan wawancara, (4) tes persistensi yang dilakukan setelah selang waktu dua minggu. Keempat langkah tersebut dilaksanakan agar evaluasi terhadap pendekatan konflik kognitif dapat memperoleh hasil yang berarti.
Peneliti yang menggunakan pendekatan konflik kognitif dalam upaya mengatasi miskonsepsi sebenarnya dapat memperkaya strateginya, selain dengan menggunakan LKS/LKM, maka peneliti dapat melalui analog, contoh-contoh tandingan (counter example), demonstrasi dan eksperimen(Irwandy, 2011).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar