Individu
hanya dapat memahami suatu konsep dengan benar jika konsep yang mendasari sebelumnya
telah dikuasai dengan benar pula. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh para ahli pendidikan dari berbagai aliran bahwa hal terpenting
yang dibawa ke ruang kelas oleh setiap siswa sebelum memulai pelajaran adalah
konsep-konsep yang telah mereka miliki dan kuasai sebelumnya.
Ilmu
kimia mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi berkaitan dengan konsep-konsep
dalam kimia bersifat abstrak, merupakan penyederhanaan dari keadaan sebenarnya,
dan sifatnya berurutan. Kesulitan dalam memahami konsep-konsep dalam materi
kimia dapat menyebabkan terjadinya kesalahan pemahaman. Pemahaman salah yang
terjadi secara konsisten disebut dengan kesalahan konsep (misconseption). Upaya
untuk memperbaiki kesalahan konsep dapat dilakukan melalui beberapa tahap
berikut yaitu upaya menganalisis dan mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi
pada peserta didik, kemudian ditindaklanjuti dengan pembelajaran menggunakan
pendekatan konflik kognitif dan atau pendekatan mikroskopis.
Beberapa
masalah pendidikan dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik,
misalnya kurikulum, lembaga penyelenggara pendidikannya atau sekolah, guru,
proses pembelajaran, sumber belajar, serta peserta didik itu sendiri. Keenam
subyek atau sistem dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan kimia perlu
diperhatikan melalui penelitian, pembentukan dan penetapan kebijakan dalam
pendidikan di Indonesia.
A. Tinjauan
Masalah Pendidikan yang Menyebabkan Miskonsepsi dalam Pembelajaran Kimia
Keenam
masalah pendidikan kimia yang dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada
peserta didik, adalah:
1. Kurikulum
Kerangka
dasar dan struktur kurikulum serta kurikulum tingkat satuan pendidikan baik
hirarki materi pelajaran maupun tatanan materi antar mata pelajaran harus terus
mengalami evaluasi dan perubahan untuk menghindari miskonsepsi yang berasal
dari kurikulum, dengan kata lain kurikulum harus dinamis karena kurikulum yang
statis tidak mampu menata hirarki pendidikan kimia di SMP maupun di SMA dan
tidak memperhatikan ketimpangan materi antar mata pelajaran.
2. Lembaga
Penyelenggara Pendidikan Formal
Pada
saat ini, lembaga penyelenggara pendidikan atau sekolah memiliki otonomi atas
faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan bahkan sampai pada tingkat
kebijakan, maka sekolah seharusnya memaksimalkan pemberdayaan faktor-faktor
tersebut, misalnya team teaching dibentuk untuk pembelajaran IPA Terpadu atau pembelajaran
tematik, sehingga peserta didik dapat mempelajari secara utuh pada bidang studi
kimia, fisika, dan biologi dalam pembelajaran IPA Terpadu tersebut.
3. Tenaga
Pendidik
Guru
berperanan lebih sebagai konselor, fasilitator, kolaborator, dan pelatih
strategi belajar bagi siswa. Peranan guru agar tidak terjadi miskonsepsi
sangat besar, yaitu mulai dari memahami siswa hingga evaluasi pembelajaran
dapat membantu peserta didik agar tidak mengalami miskonsepsi, dan yang
terutama guru menguasai materi kimia sehingga gurunya sendiri tidak mengalami
miskonsepsi dan dapat membimbing peserta didik mencapai kompetensi yang
ditetapkan.
4. Proses
Pendidikan/Pembelajaran
Proses
pendidikan yang mengutamakan pengembangan potensi peserta didik seoptimal mungkin
harus menerapkan empat pilar belajar yang diajukan oleh komisi internasional
UNESCO yaitu (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to
live together; dan (4) learning to be. Penerapan keempat pilar tersebut
dalam proses pembelajaran kimia dapat berarti sehingga tidak terjadi
miskonsepsi karena peserta didik dapat mempelajari konsep kimia secara utuh
sehingga tidak terjadi miskonsepsi.
5. Sumber
Belajar
Pendidik
berperan lebih sebagai perancang, pengelola, fasilitator, tutor, dan mentor.
Peranan buku teks pelajaran sebagai salah satu sumber belajar berkaitan dengan
usaha memberikan kecakapan belajar agar mampu belajar sepanjang hayat, maka
diangap perlu menyusun buku teks pelajaran yang baik.
Pada
saat ini, isi dalam buku teks pelajaran kimia masih sering ditemukan kesalahan
konsep sehingga jika peserta didik belajar tanpa bimbingan dapat mengalami
kesalahan konsep. Dengan demikian, dalam pembelajaran kimia sebaiknya
menggunakan lebih dari satu sumber belajar atau misalnya menggunakan buku teks
berbasis aneka sumber.
6. Peserta
Didik
Penyebab
lain terjadinya miskonsepsi dapat juga dari pengetahuan kimia terdahulu peserta
didik belum matang yang merupakan dasar pembelajaran kimia yang dilaksanakan,
atau kesalahan peserta didik menginterpretasikan pelajaran kimia dari
sumber-sumber belajar yang dipelajarinya.
B. Kemampuan/Keefektivan
Instrumen untuk Analisis Miskonsepsi pada Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran
Kimia
Beberapa
instrumen untuk mendeteksi dan menganalisis miskonsepsi kimia sudah diciptakan
untuk setiap SK dan KD pelajaran kimia, baik yang berupa perangkat wawancara,
tes soal dan beberapa di antaranya sudah merupakan produk penelitian yang dapat
digunakan pembelajaran kimia atau penelitian pembelajaran kimia yang lain.
Setiap
penelitian tentang analisis miskonsepsi menggunakan instrumen soal tes dengan
jumlah soal yang banyak sehingga mungkin cukup banyak menggunakan waktu
pembelajaran di kelas. Hal ini sebaiknya dipertimbangkan karena jika
pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang menggunakan waktu yang banyak,
maka proses pembelajaran tersebut tidak dapat dilaksanakan sampai tuntas.
C. Kemampuan/Keefektivan
Pendekatan Konflik Kognitif untuk Memperbaiki Miskonsepsi pada Pemahaman Siswa
dalam Pembelajaran Kimia
Konflik
kognitif merupakan salah satu metode pembelajaran Konsep penggunaan metode ini
yaitu orang atau siswa akan dibenturkan/dikondisikan dalam konflik dua atau
lebih pilihan/kondisi yang menuntut untuk diketahui, yaitu melalui discovery
event (peristiwa/benda anomali).
Penelitian
dan atau pembelajaran dengan pendekatan konflik kognitif harus melalui 4
langkah kegiatan, yaitu: (1) pre tes dilanjutkan dengan wawancara,
(2) pembelajaran strategi konflik kognitif, (3) pos tes dan
wawancara, (4) tes persistensi yang dilakukan setelah selang waktu dua minggu.
Keempat langkah tersebut dilaksanakan agar evaluasi terhadap pendekatan konflik
kognitif dapat memperoleh hasil yang berarti.
Peneliti
yang menggunakan pendekatan konflik kognitif dalam upaya mengatasi miskonsepsi
sebenarnya dapat memperkaya strateginya, selain dengan menggunakan LKS/LKM,
maka peneliti dapat melalui analog, contoh-contoh tandingan (counter example),
demonstrasi dan eksperimen(Irwandy, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar